Oleh : Juandaha Raya Purba Dasuha
“Ketika
itu tidak mungkin kita berbuat sesuatu. Siapa yang mencoba-coba
menghalang-halangi karena terlihat sudah melampaui batas akan turut
musnah dalam arus pergolakan. Maka dalam waktu singkat segala
barang-barang yang ada dalam istana berantakan atau lenyap bersama
penghuni-penghuninya yang dijagal dengan buas”. Dr. Marnixius Hutasoit-mantan pejabat RI di Pematangsiantar tahun 1946.
A. Pendahuluan
Sebagian
orang Simalungun tidak sependapat dengan penulis tentang topik yang
sensitif ini. Mereka mengatakan bahwa isu Revolusi Sosial tidak pantas
untuk dibuka kembali, biarlah kejadian itu berlalu seiring dengan
beralihnya waktu. Justru hal ini yang mendorong penulis untuk lebih jauh
mengetahui apa sih Revolusi Sosial itu? Ketika saya membaca buku
Anthony Reid yang berjudul Perjuangan Rakyat, barulah saya
paham, mengapa orang Simalungun seakan tabu membicarakan Revolusi Sosial
itu, sebab menyangkut sejarah perjalanan orang Simalungun yang
mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM berat, di mana satu generasi
kaum terpelajar orang Simalungun yang kebetulan berlatar belakang kaum
bangsawan Simalungun dibantai dengan sangat sadis dan kejam di luar
perikemanusiaan oleh orang-orang yang berhati iblis atas nama
“Kemerdekaan Republik Indonesia”.
B. Simalungun Menjelang Revolusi Sosial
Daerah Simalungun yang penduduk aslinya adalah halak
(suku bangsa) Simalungun berada di antara suku-suku Batak lainnya,
seperti Tapanuli yang dihuni suku Batak Toba dan Pakpak, Karo dan di
timur dekat pantai berdiam orang-orang Melayu. Sejak abad XIII
diberitakan bahwa orang Simalungun sudah bersentuhan dengan budaya
Jawa-Hindu yang dibuktikan dengan pemakaian destar batik sebagai tutup
kepala laki-laki Simalungun. Sedangkan budaya India-Hindu diperkirakan
sudah hadir di antara orang Simalungun setidaknya sejak abad ke VI
dengan hadirnya Kerajaan Nagur yang menurut kisah orang-orangtua
berketurunan dari tanah India nun jauh di seberang pulau Sumatra.
Seterusnya pengaruh Aceh pun masuk ke Simalungun lewat vazal-vazalnya di
pesisir (Serdang dan Deli) dengan kehadiran lembaga konfederasi Raja
Marompat yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Panei, Dolog Silou, Siantar
dan Tanoh Jawa pada abad XV. Demikian seterusnya sampai kedatangan
penjajah Belanda ke Simalungun sejak akhir abad XIX yang membawa
perubahan sosial yang besar di Simalungun lewat kehadiran para planters
(tuan-tuan kebun), para buruh kuli kontrak dari Jawa dan petani
penggarap sawah dari Tapanuli Utara (Batak Toba) yang sengaja
didatangkan Belanda demi menunjang kelanggengan usaha para planters yang
menguntungkan keuangan kolonial itu. Seterusnya demi menghempang
masuknya pengaruh Islam yang semakin meluas di kalangan suku Simalungun,
maka didatangkanlah suku Batak Toba Kristen sebagai penyeimbang
populasi (dan malahan melampaui populasi penduduk asli). Dengan demikian
orang Simalungun semakin terjepit dan menjadi kelompok minoritas di
kampungnya sendiri.
Meskipun demikian, rupa-rupanya pemerintah
Belanda yang sudah menguasai daerah Simalungun sejak tahun 1888 itu
(takluknya Tanoh Jawa, Tanjung Kasau dan Siantar) dan dipatahkannnya
perlawanan sekelompok masyarakat di Raya oleh Rondahaim yang wafat 1891
masih mempertahankan struktur sosial masyarakat Simalungun yang berpola
kerajaan itu. Hal ini memang disengaja oleh pemerintah kolonial dalam
rangka penghematan anggaran dan mempermudah pengawasannya atas daerah
ini, mereka tidak perlu repot membentuk struktur pemerintahan baru,
sebab daerah Simalungun sudah diatur secara struktur birokrasi yang
berpola monarki dengan pusat pemerintahan yang disebut pamatang tempat
kedudukan raja dan para pejabat-pejabat kerajaannya. Demikianlah sampai
masuknya dan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 daerah Simalungun
berdiri atas pemerintahan tersendiri yang terbagi atas kerajaan-kerajaan
(urung) yaitu: Tanoh Jawa, Siantar, Panei, Raya, Purba, Dolog Silou dan
Silimakuta. Daerah Simalungun sendiri berada dalam lingkup wilayah
Propinsi Sumatera Timur yang berkedudukan di Medan. Bersama etnis Melayu
dan Karo, suku Simalungun diakui oleh para antropolog dan sejarawan
sebagai penduduk asli (native groups) daerah Sumatera Timur.[1]
Sesudah
kekalahan Jepang dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia di
Jakarta yang wilayahnya diklaim meliputi bekas daerah kekuasaan Hindia
Belanda (dengan demikian termasuk Sumatera Timur) pada 17 Agustus 1945.
Untuk daerah Sumatera Utara deklarasi kemerdekaan diumumkan kemudian
tanggal 30 September 1945 dalam suatu pawai para pemuda nasionalis di
Medan ibukota keresidenan Sumatera Timur. Semangat kemerdekaan yang
besar di kalangan rakyat tidak diikuti semangat serupa di kalangan kaum
bangsawan. Sebaliknya kaum aristokrat Sumatera Timur itu dengan
terang-terangan menunjukkan sikap yang menyebabkan kebencian di kalangan
pendukung kemerdekaan; mereka berharap kedatangan Belanda kembali akan
merestorasi kedudukan mereka sebelum perang. Akibatnya pecah ketegangan
di antara kaum pergerakan nasionalis Indonesia dengan para aristokrat
itu yang menyebabkan garis di antara kedua kelompok itu semakin tajam
perbedaannya. Gaya hidup serba kemewahan dan keborosan serta kesombongan
kaum aristokrat Melayu semakin menuai kebencian dan dendam di antara
rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Khususnya
terhadap sultan Langkat dan sultan Deli yang merupakan penguasa pribumi
Melayu yang cukup kaya dengan keuntungan minyaknya dan sewa atas tanah
perkebunan dari para planters. Situasi rawan yang seperti ini sudah
pasti menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak dan dengan
sangat baik sekali dimanfaatkan kaum berhaluan kiri, khususnya
orang-orang Komunis. Gagasan komuis sendiri sudah sejak 1925 masuk ke
Sumatera di bawah pimpinan Sutan Said Ali. Setelah pecah pemberontakan
PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926-1927 para tokoh-tokoh PKI banyak yang
ditangkap dan dibuang Belanda ke Boven Digul Papua. Di antara yang
dibuang itu terdapat seorang pemuda Batak Toba terpelajar berpendidikan
Belanda, Urbanus Pardede yang kelak memimpin aksi Revolusi Sosial di
Simalungun dan menggantikan Maja Purba sebagai Bupati Simalungun.[2]
Selanjutnya Xarim MS (Mau Senang) seorang ahli pidato dan tokoh komunis
terkemuka di Aceh yang sudah malang-melintang di gerakan PKI sejak tahun
1926-1927. Pada zaman Jepang dia berhasil mengambil simpati sunseibucho
(Gubernur Jepang) Nakashima dan membentuk organisasi BOMPA (Badan
Oentoek Membantoe Pertahanan Asia).[3] Selain itu masih terdapat nama
Saleh Umar seorang pemimpin nasionalis yang sudah memimpin PNI, Partindo
dan Gerindo sejak zaman Belanda. Kemudian Jakub Siregar anak Martua
Raja Siregar yang aktif di politik bersama dengan Saleh Umar. Mereka
kemudian membentuk dan memimpin pada tahun 1944 organisasi Ken Ko Ku Tui
Sin Tai atau Barisan Harimau Liar di bawah pelatihan dari Inoue seorang
perwira Jepang.[4] Organisasi ini diresmikan secara rahasia pada 20
Maret 1945 sebagai suatu organisasi militer, dengan Inoue sebagai
komandan, Jacob Siregar sebagai wakil komandan, Saleh Umar sebagai
kepala staf dan Abdullah Jusuf dan Nulung Sirait sebagai perwira staf.
Para pemuda direkrut untuk dikirim mengikuti pelatihan Talapeta dalam
bidang pertanian, strategi militer dan ajaran nasionalisme selama satu
sampai tiga bulan. Jumlah kadernya sekitar 50000 orang yang terdiri dari
kaum tani dan nelayan dari etnis Batak Toba, Simalungun dan Karo yang
beroperasi di dataran tinggi Sumatra Timur.[5] Selanjutnya masih ada
nama Luat Siregar sahabat karib Xarim MS yang menjadi anggota PKI sejak
1945 dan pernah menjabat residen Sumatera Timur (April-September 1946)
setelah berhasil menyingkirkan Tengku Hafas kerabat Sultan Deli dari
Bedagai. Lalu dr. Mohammad Amir seorang ahli jiwa dokter pribadi Sultan
Langkat yang menjabat Wakil Gubernur Sumatera yang setelah pecah
Revolusi Sosial membelot ke pihak Belanda (isterinya seorang Belanda).
Sedangkan Saragihras sebagai komandan BHL di Simalungun lebih berperan
sebagai eksekutor atas perintah dari para aktor intelektual di atas.
Ada
kalimat bernada provokatif dari buku Batara Sangti Simanjuntak: “Maka
tidak heran apakala revolusi sosial meletus pada bulan Maret-April 1946,
lebih berkecamuk di daerah Simalungun, di mana banyak jatuh korban di
pihak raja-raja, pegawai dan penghulu-penghulu yang memegang peranan
dalam aksi-aksi penindasan rakyat itu, yakni dipelopori oleh A.
E. Saragih alias Saragih Ras pimpinan Barisan Harimau Liar yang
terkenal dan Urbanus Pardede dari PKI (yang menjadi Bupati Kabupaten
Simalungun pertama sesudah revolusi sosial tersebut)”[6] Benarkah
statement di atas? Perhatikan kalimat yang dia tulis di halaman 187:
“Hasil pembangunan Simalungun yang begitu rupa, merupakan durian runtuh
tiba-tiba; menyebabkan kantong pihak raja-raja dan kas pemerintahan
swapraja-swapraja Simalungun mendadak dalam waktu singkat terus
kaya-raya. Dengan sendirinya pihak raja-raja menjadi mewah terutama
Siantar, Tanah Jawa, Pane dan Raya. Kemewahan inilah yang menyebabkan
raja-raja bertambah angkuh dan bersifat feodal. Sedang orang-orang Toba
yang berjiwa dinamis dan demokratis itu memandang … tidak lebih dari
saudaranya sendiri sebagai kepala masyarakat hukum adat Dalihan Natolu …
sikap mana sebaliknya dipandang … pihak raja-raja tidak menghormatinya
atau menentang mereka”.
Saya lalu menanyakan tentang kebenaran
“raja-raja menindas rakyat” yang diutarakan oleh Batara Sangti tersebut
kepada Tuan Kamen Purba Dasuha putera raja Panei terakhir dan Tuan
Djariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir. Dengan nada diplomatis,
Tuan Kamen balik bertanya kepada penulis, “Apakah kaum pendatang tidak
pantas untuk menghormati dan tunduk kepada aturan pemerintah yang
berlaku di Panei?” Dengan menunjuk persawahan yang luas di sekitar
Pamatang Panei sampai ke Sabah Dua, Tuan Kamen berkata, “Kalau ayah saya
menindas pendatang dari Tapanuli ini, tidak mungkin mereka dapat
memiliki persawahan dan pemukiman yang luas di Panei ini. Justru kami
sebagai ahliwaris raja Panei yang akhirnya kebagian lahan warisan yang
paling sedikit dibanding kaum pendatang”.[7] Sementara itu Tuan
Djariaman Damanik juga berkata senada dengan Tuan Kamen Purba Dasuha,
dia mengatakan bahwa jika Tuan Sidamanik menindas para pendatang dari
Tapanuli tidak akan mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik
melampaui jumlah penduduk asli Simalungun dan menguasai tanah yang lebih
luas dari keturunan Tuan Sidamanik.[8]
Dari buku yang ditulis
Batara Sangti Simanjuntak itu tergambar sekilas bagaimana ketegangan
etnis yang sempat terjadi di Simalungun sebagai ekses dari migrasi kaum
pendatang Batak Toba ke Simalungun dengan penduduk asli Simalungun.
Perlu diingat sejak masuknya para planter yang didukung pemerintah
kolonial Belanda, praktis kekuasaan dan pengaruh penduduk asli
Simalungun semakin terabaikan. Sepertiga atau 151.000 hektar (luas
Simalungun 441.380 hektar) berada dalam penguasaaan para pengusaha
perkebunan asing.[9] Sementara itu penduduk asli Simalungun merosot
jumlahnya menjadi kelompok minoritas (69.852 jiwa), migran Batak Toba
(26.531 jiwa), migran lain kebanyakan orang Jawa (23.653 jiwa) dan kuli
kontrak orang Jawa (44.040 jiwa). Penduduk orang Eropa 816 jiwa dan
Timur Asing 10.865 jiwa.[10] Persoalan perebutan lahan garapan di antara
kaum pendatang Batak Toba itu menjadi perkara yang memusingkan
raja-raja Simalungun; sementara penduduk asli semakin terpinggirkan dan
akhirnya pindah ke daerah yang relatif tandus di pegunungan, khususnya
di sekitar gunung Simbolon. Di Pematangsiantar sendiri kota itu semakin
kehilangan indentitas aslinya sebagai kediaman tradisional suku
Simalungun, identitas pendatang semakin dominan, khususnya identitas
Batak Toba.[11] Data-data ini menunjukkan bahwa sesungguhnya akibat
politik kolonial Belanda, penduduk asli Simalungun yang berada dipihak
yang sangat dirugikan dibanding para pendatang, terutama di daerah
konsentrasi perkebunan dan persawahan di Simalungun Bawah.[12] Dengan
demikian pernyataan di buku-buku sejarah selama ini yang menyatakan
ketertindasan rakyat oleh para kaum aristokrat Simalungun pantas untuk
diteliti kembali kebenarannya.
C. Revolusi Sosial Pecah di Simalungun
Secara
teoritis, revolusi adalah wujud perubahan sosial paling spektakuler;
sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan
ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulangmanusia. Revolusi tidak
menyisakan apapun dari keadaannya sebelumnya.[13] Dalam pengertian ini
menurut Stzompka, revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial. Jalannya
revolusi menurut para sosiolog berada dalam sepupuh tahapan, yang
pertama sekali didahului oleh kondisi khas yang disebut “revolutionary prodrome”
yang ditandai oleh ketidakpuasan, keluhan, kekacauan dan konflik yang
disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selanjutnya menjalar pada
perpindahan kesetiaan intelektual sebagai hasil agitasi kelompok
tertentu dengan cara-cara tertentu seperti penyebaran pamflet atau
doktrin yang menentang rezim yang lama.[14]
Dari
paparan teoritis ini, revolusi muncul akibat adanya ketidakpuasan yang
selanjutnya disulut oleh agitasi dan provokasi dari pihak-pihak yang
berkepentingan dengan menunjukkan kelemahan atau rasa kebencian pada
rezim yang akan dijatuhkan. Artinya suatu revolusi tidak pernah berjalan
spontan, dia berada dalam posisi direncanakan secara rapi dengan
memanfaatkan situasi ketidakpuasan publik. Jadi sangat tidak benar bila
dikatakan bahwa revolusi sosial di Sumatera Timur itu adalah suatu
peristiwa yang berjalan spontan. Kasus revolusi sosial (yang pertama
sekali diungkapkan oleh dr. Amir) yang terjadi di Sumatera Timur itu
betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh
kelompok-kelompok yang punya kepentingan dengan pembantaian para kaum
bangsawan dan cendekiawan Sumatera Timur itu. Untuk kasus di Sumatera
Timur, sudah jelas otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar
perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront
dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M.
Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik
layar.[15] Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo,
Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh
Jawa dari perkebunan serta kaum tani, demikian ulasan majalah Tempo edisi 50/Feb/1997.[16]
Motif
pembantaian kaum aristokrat dan cendekiawan Sumatera Timur lebih
dominan pada intrik politik dan balas dendam, seperti dituturkan saksi
mata Maxinius Hutasoit, “Sudah tentu bahwa dalam revolusi sosial itu
terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada
hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal.
Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas,
nafsu rendah memperoleh pelampiasannya”.[17] Apa yang dikatakan oleh
saksi mata di atas akan kita lihat kebenarannya pada uraian selanjutnya.
Sungguh
beruntung kita mendapat informasi terkini dari saksi mata hidup dari
kalangan korban revolusi sosial Tengku Luckman Sinar tentang duduk
perkara Comite van Onvangst (Panitia Penyambutan) yang
dijadikan dasar tuduhan dari golongan kiri membenarkan tindakan kejam
yang disebut mereka revolusi sosial itu. Menurut keterangan Tengku
Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta,
berita itu masih desas-desus di Sumatera (maklum komunikasi tidak
secanggih sekarang ini). Berita seperti itu pun cenderung ditutupi
kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul desas-desus bahwa
tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera
mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu.
Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu
Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para
tokoh dan penguasa tradisional Sumatera Timur ke rumahnya di Jl Raja/Jl.
Amaliun Medan, seperti Xarim MS dan Mr. Yusuf berunding di rumahnya
membentuk panitia diketuai Sultan Langkat dan wakil ketua Tengku Mansyur
untuk menjelaskan kepada Sekutu alasan mereka bekerjasama dengan
Jepang. Panitia inilah yang diisukan kaum kiri sebagai Comite van Onvangst,
panitia yang akan menangkapi para tokoh kemerdekaan.[18] Tuduhan yang
sampai hari ini tidak terbukti, meskipun para pelaku revolusi sosial
telah menggeledah dan membakar istana-istana raja Simalungun, sultan
Melayu dan Sibayak Karo. Slogan-slogan bernada revolusioner, seperti
“rajar-raja penghisap darah rakyat”, “kaum feodal yang harus dibunuh”
dan lagu “Darah Rakyat” menggelora di mana-mana. Para provokator ini
kebanyakan adalah dari etnis bukan Simalungun, selain A. E. Saragihras
yang menjadi eksekutor di lapangan, tidak diketahui apakah ada etnis
Simalungun yang duduk di belakang meja mengatur tindakan biadab itu.
Tetapi sudah pasti berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal
2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah mereka ketahui bahwa PKI
dan Harimau Liar bekerjasama erat sekali dalam tindakan itu. Volksfront
(front perjuangan rakyat) dan PARSI yang berdiri pertengahan Februari
1946 yang mana “Pasukan Kelima” dari dr. F. J. Nainggolan turut
bergabung. Pesindo sendiri selaku organisasi pemuda pejuang sudah
sedemikian rupa dipengaruhi oleh PKI. Tetapi yang lebih mengejutkan dari
penelitian Tengku Luckman Sinar, ternyata aksi revolusi sosial itu
ternyata sudah lama juga direncanakan pihak penjajah Belanda sejak tahun
1906, di mana kekuasaan kerajaan bumiputera semakin diperkecil, bahkan
ada yang dihapus, seperti kerajaan Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda
sudah mengangkat panitia untuk itu yaitu Extraterritorialiteitcommisie
yang bertujuan bahwa wilayah pemerintahan sendiri yang otonomi itu
harus dilenyapkan secara perlahan-lahan dan tatkala raja-raja sudah
tidak ada lagi maka demokrasi lokal akan berkembang dan hapuslah
kerajaan bumiputera itu.[19] Dan untuk tujuan itu, Belanda telah memakai
agennya bernama dr. Amir wakil gubernur Sumatra seorang teosof lulusan
Belanda yang beristrikan seorang perempuan Belanda (yang pada zaman
Belanda sudah disamakan statusnya dengan Belanda)yang membelot ke NICA
pada 23 April 1946. Dia kemudian meninggal di Belanda tahun 1949.[20]
Pembantaian
atas kaum bangsawan Simalungun ini memang sejarah yang sulit diterima
logika, sebab hanya dengan alasan “antek penjajah” yang dialamatkan
kepada kaum bangsawan Sumatera Timur sudah menjadi dasar untuk tindakan
pembantaian, perampokan bahkan pemerkosaan yang jelas tindakan
manusia-manusia yang tidak bertuhan. Tengku Luckman Sinar dari hasil
penelitiannya membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku
republikein itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan
komunis Sarwono dan Zainal Baharuddin dan Saleh Umar serta eksekutor
lapangan A. E. Saragihras dari Barisan Harimau Liar (BHL) di Simalungun.
Dalam pemeriksaan oleh pihak berwajib mereka mengaku bahwa tindakan itu
digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai
gembongnya untuk menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh
penghalang pada kemerdekaan. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB
tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera tidak berada
di Medan, sebab pada hari itu Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas
Agung untuk kunjungan ke Sumatera Selatan. Kehadiran Gubernur Teuku
Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menggagalkan rencana Markas Agung
tersebut. Wakil Gubernur Mohammad Amir yang sepaham dengan Markas Agung
(Residen Abdul Karim) mengatur perjalanan Gubernur mulai 6 Februari
1946. Di saat Gubernur tidak berada di Medan, dilancarkanlah aksi
pembantaian tersebut. Sehari sebelum gubernur berangkat, Residen
Sumatera Timur Tengku Hafas (yang kemudian dipecat Markas Agung)
mengunjungi gubernur di rumahnya, mengungkapkan firasat buruknya, bahwa
sepeninggal gubernur akan terjadi suatu peristiwa. Ternyata firasat
Tengku Hafas benar. Teuku Hasan menulis: “Firasat itu benar, 1 Maret
bertempat di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, volksfront/PKI—M. Yunus
Nasution dan Marzuki Lubis bersama divisi IV-TRI-Kol. A. Tahir dan
Mahruzar (adik Sutan Syahrir), dan dengan bantuan wakil gubernur Moh.
Amir—bermusyawarah untuk menumpas kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur
pada tanggal 3 Maret 1946. [21]
D. Jalannya Aksi Pembantaian
Pada
tanggal 3 Februari 1946 raja-raja, sibayak dan sultan seluruh Sumatera
Timur sudah menyatakan tekad mendukung dan berdiri di belakang
pemerintah Republik Indonesia di hadapan wakil pemerintah Gubernur
Mohammad Hasan, termasuk dr. Moh. Amir, Tengku Hafaz, Abdul Xarim MS dan
pejabat Republik lainnya. Sedangkan seluruh penguasa swapraja Sumatera
Timur hadir termasuk sultan Siak Sri Indrapura dari Riau. Dari
Simalungun hadirRaja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba
Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang
yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik,
Raja Raya diwakili Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan Raja Tanoh Jawa
Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) itu
dipimpin oleh Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar.[22] Sultan
Langkat pada waktu itu mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera
Timur menugucapkan pidato yang salah satunya berbunyi: “kami
sultan-sultan dan raja-raja telah mengambil keputusan bersama untuk
melahirkan sekali lagi itikad kami bersama untuk berdiri teguh di
belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia dan turut menegakkan
dan memperkokoh Republik kita”.[23] Meskipun demikian tegas pernyataan
para penguasa tradisional tersebut, aksi pembantaian tetap berlangsung
yang diiringi tindakan perampokan harta benda para kaum bangsawan,
pembakaran dan perusakan istana kerajaan bahkan pemerkosaan
puteri-puteri bangsawan seperti terjadi di kesultanan Langkat. Peristiwa
sadis ini berlangsung di istana Tanjungpura kesultanan Langkat. Puteri
Langkat itu demi menyelamatkan nyawa ayahnya Sultan Langkat terpaksa
bersedia melayani nafsu binatang Marwan dan Usman Parinduri pelaku
pembantaian itu. Kesadisan mereka dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar,
“… kedua puteri itu menjerit-jerit kesakitan dan setiap rintihan
merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar itu dari
kamar sebelah”.[24]
Di
Simalungun sendiri seperti telah dijelaskan di depan, eksekutornya
adalah komandan Barisan Harimau Liar (BHL) A. E. Saragihras yang masih
kerabat Kerajaan Panei. Menurut Tengku Luckman Sinar, “kebanyakan
pelaksananya adalah suku Toba meskipun pimpinan utamanya adalah
Saragihras putera Simalungun asli dan Saleh Umar memberikan instruksi
rahasia untuk menangkapi raja-raja di sana kepada Pesindo”.[25] Mohammad
Said yang mewawancarainya di penjara (setelah aksi pembantaian itu)
berdasarkan pengakuan Saragihras sendiri, bahwa dia pada tahun 1944
sudah menjadi anggota Kenkoku Teisintai (Barisan Harimau Liar)
yang dibentuk Inoue dan tahun 1945 memimpin BHL. Perintah menghabisi
para raja itu diperoleh atas perintah Sarwono pimpinan Markas Agung dan
Sekretaris Zainal Abidin yang mengunjunginya menyampaikan perintah
rahasia itu.[26] Saleh Umar pimpinan tertinggi Markas Agung ketika
dimintai ketegasan hitam di atas putih oleh Saragihras, dijawab oleh
Saleh Umar: “Perintah ini adalah rahasia dan sayalah yang menanggung
akibatnya”. Menurut Saragihras dari perintah Saleh Umar itu, raja-raja
yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja
Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku Raja Raya Tuan Jan Kaduk
Saragih Garingging dan lainlain.[27] Untuk Kerajaan Tanoh Jawa eksekusi
atas kaum bangsawan di sana dipercayakan kepada Bagus Saragih pimpinan
PKI di Tanoh Jawa.[28] Harta rampasan dari para bangsawan itu diserahkan
pada awal tahun 1949 kepada Mohammad Saleh Umar yang sudah diangkat
menjadi Residen Sumatera Timur (setelah menggulingkan Tengku Hafaz).
Harta benda bangsawan itu pernah dipakai sebanyak dua kali, pertama
untuk membiayai perbekalan TNI di Sidikalang dan kedua, ketika mereka
berada di Pasar Matanggor (Tapanuli Selatan) untuk membeli senjata dari
Singapura yang untuk ini ditugaskan Saleh Umar kepada saudagar Tionghoa
Oei Boen Tjoen yang ternyata melarikannya. Selanjutnya harta benda yang
tersisa diserahkan kepada komandan teritorium Sumatera Kolonel Alex
Kawilarang pada tahun 1950. Yang sempat dirampas Belanda sempat disimpan
di kluis NHM Pematangsiantar dibawah pengawasan Teuku Mohammad Hasan
dan dikembalikan kepada pemiliknya tahun 1948.[29]
1. Kerajaan Panei.
Pada
masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam Purba
Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba Dasuha,
anak tertua Tuan Marjandi adik kandung raja Panei (Tuan Anggi Panei)
menginformasikan kepada keluarga raja Panei di Pamatang Panei bahwa akan
ada malam itu gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan
sultan-sultan, supaya raja dan keluarga menyelamatkan diri ke rumah
pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman)
Pematangsiantar.
Pada
hari itu juga Tuan Nagapanei (berdasarakan informasi dari Richard
Nainggolan) melaporkan kepada raja Panei bahwa A. E. Saragihras dan
laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan menjarah ke
istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri. Anehnya,
meskipun raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan BHL
pimpinan laweinya sendiri A. E. Saragihras itu, dia bergeming tidak
menyelamatkan diri ke Pematangsiantar.Pihak istana hanya melakukan
tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari
laksar Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba
Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa. Menurut Tuan Kamen Purba,
abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang
berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di
sekitar istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Tuan Aliamta
Purba yang masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi
oleh kelurga besar raja. Di tengah malam tiba-tiba listrik padam,
rupanya pasukan BHL sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak
berdaya menghadapinya, ada yang tewas dan sebagian diikat. Pasukan BHL
berjumlah lebih kurang 50 orang itu naik ke istana, mereka tidak
berbicara dan memakai penutup wajah. Serempak mereka masuk dan menjarah
seluruh istana raja membawa karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan
raja, mengambil emas banyak sekali dari peti, uang perak gulden dan uang
kertas Jepang. Pokoknya semua disikat tidak ada yang ketinggalan. Raja,
raja muda dan Tuan Djautih dan seluruh perempuan dewasa diikat
tangannya. Senjata revolver rajamuda turut dirampas. Seluruh isi istana
dijarah dan raja, dua puteranya dan 28 rakyat yang tidak rela
meninggalkan rajanya turut diikat dan dinaikkan ke dalam 2 buah truk.
Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan raja Panei
disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori,
dekat Tiga Sibuntuon. Beruntung Tuan Marga Idup Purba dan Tuan Iden,
Tuan Abraham dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana
berlari ke Nagahuta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang
yang pada Minggu siang masih sempat berkunjung ke istana. Dari sana
berangkat ke Pagarjawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di
Pematangsiantar (rumah Tuan Madja Purba Bupati Simalungun). Tuan Kamen
sendiri pada malam itu bersama denggan Inang Bona (Puang Bona), isteri
raja Panei/puteri dari Siantar di ladang raja Panei di Nagahuta.
Abangnya Tuan Nalim sedang bersekolah di Pematangsiantar. Rumah
pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl. Sudirman) sudah
dikuasai BHL dan dijadikan markas mereka. Mobil pribadi raja Panei
dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang sudah mengkudeta Tuan Madja
Purba sebagai Bupati. Harta raja Panei habis disikat dan istana (rumah
panggung berasiterktur semi Melayu) kemudian dibakar atas pimpinan
seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang merupakan istana lama
utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh dimakan usia, karena
ketiadaan perawatan.
Sesudah
berita penculikan raja Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun
mengejar jejak BHL ke arah Saribudolok dan Tigaras. Akhirnya mereka
menemukan mayat keluarga aristokrat Panei berikut rakyat yang telah
tewas mengenaskan itu. Menurut berita, mayat raja Panei, kepalanya
dipenggal, tombak menembus duburnya sampai ke leher dengan lidah dicabut
paksa. Mayat raja kemudian dimakamkan di dekat istananya yang sudah
rata dengan tanah di Pamatang Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat
kerajaan yang tewas itu. Sampai raja Panei meninggal, dia masih
bertahan dengan agama suku dan tidak pernah menjadi Islam atau Kristen
(tetapi lebih condong ke Islam). Anakboru Panei Tuan Djademan Saragih
Garingging tuan Dologsaribu (ayah Prof. Dr. Boas Saragih) tewas dibantai
dengan kejam. Tuan Nagapanei Tuan Djamonang Purba Sidadolog juga tewas
dibunuh. Pembantaian terhadap keluarga raja Panei masih berlanjut sampai
bulan April 1947, putera-putera raja Panei yang sudah aktif di
perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba tewas dibunuh BHL, menyusul Tuan
Kortas tuan Marjandi dan Tuan Mintari Purba kerani Kerajaan Panei.
Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah bila tidak
diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan.[30]
2. Tanoh Jawa.
Raja
Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya raja Tanoh Jawa Tuan
Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL dan mereka tinggal di
Pematangsiantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan Tuan Mintahain
Sinaga dan puteranya rajamuda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman
Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus
1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan dicampur
dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL.[31]
Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial di
Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.[32]
3. Kerajaan Siantar.
Pemangku
raja Siantar Tuan Sawadim Damanik pada waktu itu luput dari pembunuhan
oleh BHL, karena pada waktu itu, beliau berada di rumahnya di Pamatang
Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang menggarap sawah di
sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas dibunuh, termasuk
tuan Sipolha Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah Tuan Djabanten
Damanik). Bangsawan di Sipolha yang paling banyak mengalami pembantaian
oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif lebih terisolir di
pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak keluarga tuan
Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan mengungsi
sampai ke luar negeri. diperkirakan ada ratusan korban mati dibantai
oleh BHL di Sipolha. Tuan Sidamanik sendiri Tuan Ramahadim Damanik
bersama rajamuda Sidamanik Tuan Mr. Djariaman Damanik (lahir 1920) sudah
mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke Pematangsiantar. Mr.
Djariaman bertolak belakang dengan tuduhan Markas Agung adalah seorang
republikein sejati yang turut melatih pasukan TKR di Tapanuli dengan
pangkat Letnan Satu. Setelah bermufakat di rumah pesanggerahan Tuan
Sidamanik, Tuan Bisara Sinaga tuan Djorlang Hataran, Tuan Baja Purba
tuan Dolog Batunanggar, Tuan Djansen Saragih tuan Raya Kahean (anak Tuan
J. Kaduk Saragih) berlindung di Kantor Polisi RI.[33] Beberapa hari
kemudian Tuan Djariaman Damanik menemukan buku kecil berwarna merah
darah beredar di kota Pematangsiantar yang judulnya “Revolusi Perancis
dan Revolusi Soviet Rusia” di sampul terdapat lukisan palu arit, simbol
partai komunis. Penulis buku itu menginformasikan bahwa tindakan
“revolusi sosial di Suamatera Timur” pada 3-4 Maret 1946 adalah gerakan
yang sama. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan Djariaman Damanik
memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR RI atas saran
Komandan TKR Pematangsiantar Rikardo Siahaan. Dikawatirkan bergabungnya
Rajamuda Sidamanik ke dalam TKR menimbulkan kesan TKR = Tentara Keamnana
Raja.[34]
4. Kerajaan Purba.
Meskipun
raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas Langit bersama
anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara misterius. Tuan
Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras. Semuanya
berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947 (agresi kedua). Pantai
Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat manusia
yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau memakan
ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam perut
ikan itu. Pada tahun 1947 pemangku raja Purba Tuan Karel Tanjung gelar
Parajabayak tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan Madja
Purba pejabat pemerintah RI yang pernah menjadi Bupati Simalungun (dan
dikudeta tokoh PKI Urbanus Pardede pasca revolusi) dan pejabat Gubernur
Sumatera Utara. Keturunan raja Purba yang lain Mr. Tuan Djaidin Purba
pernah menjabat sebagai walikota Medan. Tuan Djomat Purba (Tuan Anggi)
terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper NST
(untuk mempertahankan diri dari pelaku revolusi). Baik Tuan Mogang dan
Tuan Djomat adalah putera Simalungun yang pantas dibanggakan, keduanya
adalah anak yang dilahirkan Puangbolon Kerajaan Purba dari Siantar.[35]
5. Kerajaan Silimakuta.
Raja
Silimakuta yang saudah aktif di Markas Agung juga tewas dan tidak
diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo. Bersama
beliau turut tewas dibunuh dokter pertama orang Simalungun dr. Djasamen
Saragih (anak Pangulubalei Djaudin Saragih). Keluarga raja Silimakuta
kemudian mendirikan tugu baginya di Tigaraja Kec. Silimakuta Barat.
Konon mayat Raja Silimakuta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat
Kabanjahe. Turut juga ditangkap Pangulubalei Djaudin Saragih abang Pdt.
J. Wismar Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur
masih hidup diselamatkan TRI.
6. Kerajaan Dolog Silou.
Raja
Dologsilou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak berhasil diselamatkan
rakyatnya sendiri dari keganasan pasukan BHL dan berdiam di
Pematangsiantar.
7. Kerajaan Raya.
Nasib
naas menimpa pemangku raja Raya Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging
gelar Tuan Raya Kahean. Beliau seorang maestro seni Simalungun yang
tidak ada tandingannya sampai hari ini dan perintis pembangunan jalan
penghubung Sondiraya-Sindarraya. Semasa dia menjabat sebagai penguasa
swapraja di Raya, sungguh banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat
seperti pengadaan listrik dan air minum serta transportasi bus yang
diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute Pematangsiantar-Pematang Raya.
Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu menghadiri acara keluarga
saudaranya Tuan Manakraya, bersama Opas Radan Sitopu dan Penilik Sekolah
(Schoolopziner) Saulus Siregar. Ketiganya ditangkap dan dibawa
ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang Sigodang). Opas Radan
Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan menjatuhkan
dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan Kaduk tewas
dipenggal lehernya dan dihanyutkan di sungai Bah Hutailing tersebut.
Mayatnya kemudian ditemukan TRI dan dibawa ke Pematangsiantar dan
dimakamkan secara agama Kristen di belakang Gereja HKBP Kampung Kristen
Pematangsiantar oleh pendeta HKBP. Pada waktu dia meninggal baru dua
orang anaknya yang sudah berumahtangga dari 12 orang putera-puterinya.
Salah seorang yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah
Rondahaim Saragih yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama
berdiam di Australia dan Aberson Marle Sihaloho yang dikenal selaku
politisi. Tuan Anggi Raya yang dikenal dengan gelar Tuan Pamah (Tuan
Pusia Saragih Garingging) memilih harakiri (gantung diri) di kampung
Hutadolog Merekraya ketimbang ditangkap BHL. Keluarga bangsawan Raya
lainnya melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman.[36] Menurut Dja
Sarlim Sinaga, turut dibunuh Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim
Damanik, Parudo Girsang dari Saribudolok. Mereka-mereka ini adalah orang
yang sebenarnya tidak ada hubungan darah dengan raja Raya, tetapi
dibantai juga.[37] Sasaran BHL bukan lagi kaum bangsawan, tetapi juga
mereka yang kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis
(dokter, mantri, bidan), guru bahkan mereka yang kesan hidupnya terlihat
kebarat-baratan.[38] Revolusi sosial dilihat sebagai sebagian orang
sebagai ajang balas dendam dengan motif-motif pribadi yang berdampak
sampai sekarang ini.
E. Penutup
Tidak
cukup rasanya hanya dengan sekian lembar halaman uraian tentang sejarah
pembantaian kaum bangsawan Simalungun ini. Topik ini sangat menarik
untuk dikaij oleh sejarawan yang berminat pada masalah perubahan sosial.
Kita melihat bahwa revolusi sosial yang dikatakan dr. Amir (otak
pembantaian) bukanlah revolusi dalam arti yang sesungguhnya yang
mendatangkan kesejahteraan, tetapi justru sejarah kelam. Masyarakat
Simalungun menjadi terkotak-kotak dan mengalami beban sejarah. Orang
Simalungun terpaksa harus menjalani hidupnya dengan segala ketertekanan
akibat pengaruh revolusi ini. Identitas selaku orang Simalungun apalagi
yang kebetulan marganya dekat atau masih ada keturunan dengan marga
kerajaan sudah cukup untuk alasan pihak yang tidak bertanggungjawab
untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga keturunan raja-raja
Simalungun menjadi risau dan kuatir akan keselamatannya, banyak yang
akhirnya menutupi identitasnya dan memakai identitas yang dirasakannya
aman. Menanggalkan identitas kebangsawanannya dengan identitas yang aman
di daerah pengungsian atau bahkan di kampungya sendiri.
Kita lihat bahwa korban-korban yang jatuh itu adalah top leaders-nya
masyarakat adat Simalungun, pemegang hak ulayat di Simalungun, yang
banyak mengetahui mengenai adat, sejarah dan budaya Simalungun. Kita
dapat merasakan dampaknya sampai hari ini, kita sangat kekurangan figur
tokoh yang benar-benar mengetahui dan faham benar akan adat, sejarah,
budaya dan hak-hak adat masyarakat Simalungun. Kita menjadi kehilangan
identitas, jatidiri dan cenderung melarutkan diri dengan identitas lain
yang dirasakan aman. Kita juga kehilangan sumber daya manusia yang
berkualitas dan ketinggalan dengan suku-suku tetangga, khususnya Karo
dan Toba. Pada tahun 1958 sewaktu nasionalisasi perkebunan eks Belanda
di Sumatera Timur, orang Simalungun dan Melayu tidak mampu duduk di
jajaran penting di perkebunan itu karena kekurangan sumber daya manusia.
Tempat itu kemudian diisi orang Karo dan Mandailing dari Tapanuli
Selatan.[39]
Seperti
disebutkan Tengku Luckman Sinar, etnis Karo, Melayu dan Simalungun
sebagai penduduk asli Sumatera Timur harus bersatu, sebab mereka
memiliki beban sejarah yang sama. Memang pemerintah pusat melalui KNIP
Pusat tidak membenarkan aksi pembantaian itu. Para menteri seperti
Sultan Hamengkubowono IX, Mrs. Maria Ulfah Santoso, Mr. Mohammad Roem
dan Mr. Syarifuddin Prawiranegara pernah menjanjikan bahwa para korban
revolusi sosial 1946 itu akan dikembalikan kehormatan, harta benda
mereka dikembalikan oleh negara. Janji itu harus bersama-sama kita
perjuangkan. Simalungun, Melayu dan Karo harus menuntut janji itu
dipenuhi oleh pemerintah—yang memang terbukti gagal melindungi para
pemerintah swapraja itu—dan kita sebagai pemangku adat Simalungun (PMS)
harus berjuang untuk itu demi kehormatan kita sebagai orang Simalungun,
penduduk asli daerah Sumatera Timur.
Dapat kita pahami analisis
Liddle bahwa sebagai dampak revolusi itu, telah mengakibatkan orang
Simalungun berada dalam posisi terancam dan mereka harus memilih
bergabung dengan saudaranya senasib suku Melayu dan Karo penduduk asli
Sumatera Timur dalam wadah Negara Sumatera Timur yang mereka
proklamirkan tidak lama setelah revolusi itu, mempersenjatai dirinya dan
masuk kesatuan Blaw Pijper, tentara NST yang dikomandani Tuan
Djomat Purba, bangsawan Purba yang berhasil lolos dari pembantaian. Tuan
Madja sendiri dipaksa mundur oleh PKI dari jabatannya sebagai bupati
Simalungun dan harus menyerahkannya kepada seorang Batak Toba penganut
paham komunis bernama Urbanus Pardede yang telah merampas mobil raja
Panei untuk keperluannya pribadi.
Dari kajian ini, sangat mengherankan mengapa seorang Saragihras yang jelas punya hubungan keluarga yang sangat dekat dengan “lawei”
nya sendiri Tuan Bosar Sumalam raja Panei dengan tega hati membantai
dan menjarah isi istana. Begitu gampangkah orang Simalungun diagitas dan
diprovokasi sampai harus tega membunuh keluarganya sendiri?
Rekomendasi:
- Organisasi
masyarakat Melayu, Karo dan Simalungun perlu membuat suatu Seminar
Nasional Revolusi Sosial di Sumatera Timur ini. Dalam hal ini PMS dapat
melaksanakannya bersama masyarakat Melayu dalam MABMI dan masyarakat
Karo dalam Merga Silima. Sebab ketiga penduduk asli Sumatera Timur ini
yang banyak menjadi korban pembantaian dan penjarahan serta pembakaran
istana-istana kerajaan.
- Sudah saatnya tanggal 3 Maret ini menjadi hari yang pantas kita rayakan sebagai Hari Parmaluonkonni Halak Simalungun.
- Kasus
pelanggaran HAM berat ini harus dituntaskan, kita harus memperjuangkan
kepada pemerintah agar mengusut kasus ini secara adil, merehabilitasi
nama baik mereka yang dituduh anti kemerdekaan. Harta dan hak-hak adat
masyarakat adat Simalungun harus dipulihkan kembali, sebab
kerajaan-kerajaan Simalungun sudah ada jauh sebelum republik ini
berdiri, bila perlu membawa kasus ini ke Amnesti Internasional, sebab
telah merugikan eksistensi penduduk asli Sumatera Timur.
- Harus
ada rekonsiliasi di antara masyarakat adat Simalungun, di antara
keturunan para korban dan mereka yang terlibat dalam aksi pembantaian
itu. Sehingga kita punya satu persepsi dalam membangun masyarakat
Simalungun dan masa depan suku Simalungun ke depan.
Hapoltakan, 19 Oktober 2010.
Daftar Pustaka
Clauss,Wolfgang, 1982. Economic and Social Change among The Simalungun Batak of North Sumatra, Saarbrucken Fort Laurderdale: Verlag BreitenbachPublishers.
Dasuha, Juandaha Raya Purba ., dan Sinaga, Martin Lukito, 2004. Memoar 80 Tahun St. Dja Sarlim Sinaga, Jakarta: Sardo Sarana Media.
Dasuha, Mailan Purba, 1970. Tarombo ni Purba Sidasuha. Naskah Ketikan. Arsiip Pribadi.
Hutasoit, Marnixius, 1986. Percikan Revolusi di Sumatera, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Liddle. R. William. 1970. Ethnicity, Party and National Integration: An Indonesian Case Study , New Haven and London: Yale University Press.
Nainggolan, Nursanni, 1999. “Revolusi Sosial di Kabupaten Simalungun” naskah ketikan, arsip Djariaman Damanik, Medan.
Piotr Sztompka, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial (diterjemahkan Alimandan, Jakarta: Prenada Media.
Prima, 1976. Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Percetakan Waspada.
Purba, D. Kenan, 1995. Sejarah Simalungun, Jakarta: Bina Budaya Simalungun.
Reid, Anthony, 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (terj.), Jakarta: Sinar Harapan.
Said, Mohammad, 1973. “What was The “Social Revolution of 1946” in East Sumatra”. Indonesia no. 15, Cornel Southeast Asia Program.
Saragih,
Bintan R., dan Purba, 2000. Darwan Madja (eds.), 80 Tahun Djariaman
Damanik: Seorang Ningrat, Pejuang Kemerdekaan, Penegak Hukum, Tokoh
Masyarakat, Jakarta:Gaya Media Pratama.
Saragih, Kansi, 2002.
“Eksistensi Sumatera Timur dari Sudut Pandang Sejarah dan Budaya”,
makalah Simposium Pembentukan Propinsi Sumatera Timur, Pematangsiantar.
Simanjuntak, Batara Sangti, 1977. Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Co.
Sinar, Tengku Luckman, 2008. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan.
Sinopsis Upacara Pemindahan Makam Tuan Djaulan Kaduk Saragih Garingging, Brosur: Pamatang Raya, April 1995.
Tideman, J., 1922. Simeloengoen, Leiden: H. Becherer Stromdrukkerij.
van Langenberg, Michael, 1982. “Class and Conflict in Indonesia’s Decolonozation Process: A Study of East Sumatra”. Indonesia no. 33, Cornell Southeast Asia Program.
Wawancara:
Mr. Tuan Djariaman Damanik di Medan, bekas Raja Muda Sidamanik.
Tuan St. Drs. Kamen Purba Dasuha, putera raja Panei di Pematangsiantar.
Tuan Gindo Hilton Sinaga keturunan Tuan Girsang tinggal di Tigadolok.
*
Makalah disampaikan pada Harungguan Bolon DPP Partuha Maujana
Simalungun di Auditorim Radjamin Purba USI Pematangsiantar tanggal 22-23
Oktober 2010.
** Penulis adalah Pendeta GKPS, suku Simalungun
tinggal diJl Pdt. J.Wismar Saragih, Pematangsiantar, bekerja di Kantor
Pusat GKPS Pematangsiantar.
[1] Michael van Langenberg, “Class and Ethnic Conflict in Indonesia’s Decolonization Process: A Study of East Sumatra’. Indonesia
nomor 33/1982, hlm. 1. Native States di Sumatera Timur pada tahun 1945
terdiri dari 12 buah kerajaan-kerajaan Melayu yaitu: Hamparan Perak
(Deli), Sunggal (Deli), Sukapiring (Deli), Senembah (Deli), Percut
(Deli), Bedagai (Deli), Padang (Deli), Indrapura (Asahan), Tanah Datar,
Pesisir, Limapuluh, Sukudua. Tanah Karo terdiri atas kerajaan-kerajaan
(sibayak): Kutabuluh, Sarinembah, Lingga, Suka dan Barusjahe. Terakhir
Simalungun terdiri atas: Dolog Silou, Silimakuta, Purba, Raya, Panei,
Siantar dan Tanoh Jawa.
[2] Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera (Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hlm. 111.
[3]
Mohammed Said, “What was The “Social Revolution of 1946” in East
Sumatra?” Transl. by Benedict Anderson and Toenggoel Siagian. Indonesia No. 15, 1973, Cornel South East Asia Program, hlm. 157-158.
[4] Ibid., hlm. 159.
[5] Anthony Reid, op. cit., hlm. 219.
[6] Batara Santi Simanjuntak, Sejarah Batak (Balige: Karl Sianipar Company, 1977), hlm. 188.
[7] Dalam suatu percakapan dengan beliau di rumahnya di makam raja-raja Panei di Pamatang Panei sekitar bulan Maret 2007.
[8] Dalam suatu percakapan di rumahnya di Medan, 2009.
[9] Wolfgang Clauss, Economic and Social Change among The Simalungun Batak of North Sumatra (Saarbrucken Fort Laurderdale: Verlag BreitenbachPublishers, 1982), hlm. 54.
[10] J. Tideman, Simeloengoen (Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Becherer, 1922), hlm. 84.
[11] R. W. Liddle, Ethnicity, Party and National Integration: Indonesian Case Study (New Haven and London: Yale University Press, 1970), hlm. 40.
[12] R. W. Liddle, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (Jakarta: Grafiti Press, 1992), hlm. 28.
[13] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (diterjemahkan Alimandan) (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 357.
[14] Ibid., hlm. 364.
[15] Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, volume 1 (Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976), hlm. 628.
[16] “Amuk Massal: Dari Awal sampai Akhir Abad ke-20”, www.tempo.co.id/ang/min/01/50/nas.3.htm, diakses 6/8/2010 pukul 1:47 AM.
[17] Marnixius Hutasoit, Percikan Revolusi di Sumatera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 46.
[18] Tengku Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan, tp., 2008), hlm. 477; lihat juga Prima, op. cit., hlm. 94.
[19] Ibid., hlm. Iii.
[20] Prima, op. cit., hlm. 727-728. Berbeda dengan Tengku Luckman Sinar, Mohammad Said dalam Prima lebih positif memandang pembelotan Amir.
[21] Teuku Mohammad Isa (ed.), Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 1999), hlm. 363.
[22] Prima, op. cit., hlm. 292.
[23] Ibid., hlm. 296.
[24] Tengku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 497.
[25] Tengku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 491.
[26] Mohammad Said, op. cit., hlm. 184.
[27] D. Kenan Purba, Sejarah Simalungun (Jakarta: Bina Budaya Simalungun, 1995), hlm. 98.
[28] Mohammad Said, op. cit., hlm. 184.
[29] Prima, op. cit., hlm. 638.
[30] Informasi via telepon dengan Tuan Kamen Purba Dasuha dari Jakarta, 18 Oktober 2010.
[31] Immanuel, Agustus 2001, hlm. 44.
[32]
Kerajaan Tanoh Jawa meliputi wilayah terluas di seluruh Simalungun.
Kedudukan raja berada di Pamatang Tanoh Jawa dibantu oleh
partuanon-partuanon. Pada zaman Belanda, distrik Tanoh Jawa terdiri dari
Dolog Panribuan di Tigadolog, Jorlang Hataran di Tigabalata dan Bosar
Maligas di Pasarbaru. Tahun 1940 Girsang Sipanganbolon jadi satu distrik
berkedudukan di Parapat dikepalai putera mahkota Kerajaan Siantar Tuan
Sarmahata Damanik (anak raja Siantar T. Sangnaualuah Damanik). Wilayah
Girsang Sipangan Bolon masuk dalam wilayah partuanon Jorlang Hataran.
Girsang pada zaman Belanda dipimpin oleh Raja Na Onom yaitu: Tuan
Sidasuhut Girsang (Tuan Kaha) yaitu Ompu Ranjo (leluhur dr. T. Maruahal
Sinaga dan T. Gindo Sinaga), Tuan Sidahapittu Girsang, Tuan Porti
Girsang, Tuan Sidasuhut Sipanganbolon, Tuan Sidahapittu Sipanganbolon
dan Tuan Porti Sipanganbolon. Pada saat pelantikan raja di Tanoh Jawa,
Tuan Girsang yang membawa “horbou panraja”, yang tanduknya
disangkutkan di Tiang Nanggar Rumahbolon sebagai tanda pelantikan
seorang raja, sedangkan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat yang
hadir untuk disantap bersama. Informasi dari Tuan Gindo Hilton Sinaga
dari Tiga Dolog.
[33] Bintan R. Saragih dan Darwan M. Purba, 80 Tahun Djariaman Damanik: Seorang Ningrat, Pejuang Kemerdekaan, Penegak Hukum dan Tokoh Masyarakat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 29-30.
[34] Ibid.,
hlm. 30-40. Sewaktu di Dolok Sanggul Tapanuli, T. Djariaman Damanik
bertemu dengan A. E. Saragihras yang pasukan BHL-nya mundur ke Tapanuli.
Ketika ditanyakan seputar revolusi itu, Saragihras tidak ingin
membicarakannya lebih dalam. Dia hanya bertanya tentang keadaan keluarga
T. Djariaman.
[35] T. B. A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 1982), hlm.112.
[36] Sinopsis Pemakaman Kembali Tuan J. Kaduk Saragih Garingging, Pamatangraya, 1995, hlm. 1-4.
[37] Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin L. Sinaga, Memoar 80 Tahun St. Dja Sarlim Sinaga
(Jakarta: Sardo Sarana Media, 2004), hlm. 25. Dja Sarlim Sinaga yang
sudah bergabung dengan Pesindo ikut ditangkap saat sedang bekerja di
sawah oleh dua orang BHL (beliau tidak mau menyebut nama) dan ditahan di
Sondiraya. Di dalam tahanan rakyat itu, dia ditahan bersama adiknya dan
Parudo Girsang yang lebih dulu ditangkap. Dia diinterogasi seputar
aktifitasnya di politik, dan dia meyakinkan penculik bahwa dia adalah
republikein. Akhirnya berkat pertolongan Tarianus Sigumonrong (ayah
Mansen Purba) dia pun dibebaskan.
[38] Liddle, R. William, Ethnicity, Party and National Integration: An Indonesian Case Study (New Haven and London: Yale University Press, 1970), hlm. 54.
[39]
Kansi Saragih, “Eksistensi Sumatera Timur dari Sudut Pandang Sejarah
dan Budaya”, makalah Simposium Pembentukan Propinsi Sumatera Timur,
Pematangsiantar, 2002, hlm. 6.
sumber: http://simalungunonline.com/revolusi-sosial-berdarah-di-simalungun-tahun-1946.html